Foto repro di atas adalah salah satu dari
halaman yang ada di “Kumpulan PuisiFoto Hitam Putih: Merayakan Sang Momen”,
sebuah buku karya Henry C. Widjaja. Buku yang di dalamnya berisi sekumpulan
foto yang sederhana, tapi punya makna yang luar biasa setelah dimaknai secara dalam
oleh pemotretnya.
129 foto yang ditampilkan dalam buku ini
dimaknai setiap fotonya oleh Henry melalui puisi yang dibuatnya. Puisi-puisi
yang sebenarnya sangat sederhana, tapi jika dihubungkan dengan foto-fotonya,
mungkin akan terlihat berlebihan karena secara sepintas terkesan makna terlalu dibuat-dibuat.
Namun, bukannya kehidupan juga seperti itu? Kita hidup di keadaan yang serba
hiperbolis dan serba dibuat-buat. Sadarkah kita? Namun tenang, dengan membaca
buku ini, kita secara sadar akan memahami kalo sebenarnya hidup itu sebenarnya sederhana.
Dalam setiap foto yang diiringi puisi, Henry
memaknai ada-nya objek yang dia rekam dengan merefleksikannya ke kehidupan
lewat subyektivitasnya. Dia mencoba mengerti hidup ini lewat fotografi.
Dalam konteks idealisme, fotografi tidak dianggap sebagai diskripsi realitas yang obyektif, tapi cuma alat ilmiah yang disusun untuk mengerti dunia ini.(Seno Gumira Ajidarma, Kisah Mata, h. 13)
Seperti foto yang berjudul “Anak Tani” di
atas. Foto itu sangat kuat secara visual, menceritakan bagaimana hidup yang
terus bergerak, terus bergerak meninggalkan masa lalu, bergerak maju menuju hal
yang baru, tentu ada usaha untuk tidak melupakan masa lalu, tapi yang terjadi
di masa sekarang ini adalah peralihan, manusia terus berlari mengejar masa
depan, ada yang kuat dan terus melaju dengan pesat, tapi ada tertinggal, banyak
energi yang harus dikeluarkan, kadang perlu istirahat. Jika kita tak bisa
melupakan masa lalu dan tak bisa menampikkan masa depan, lalu masa sekarang itu
apa? mungkin jawabannya masa bodoh.
Lalu lihat juga foto yang secara visual
mempunyai pendekatan yang sama dengan anak tani, foto berjudul “Tiga Balkon” di
atas juga sangat kuat. Henry memaknainya dengan merefleksikan pada waktu di
kehidupan. In Flux.
Ada saatnya asyik senidiri
Ada saatnya bercengkerama
Ada saatnya tiada
(h. 117)
Hidup memang aneh. Kita mempunyai banyak ruang
dalam hidup, seperti ruang pribadi dan ruang sosial. Di ruang-ruang itu kita
seakan mempunyai peran atas kehendak diri kita sendiri. Hidup itu drama. Kita
yang membuat diri kita ada, bukan orang lain. Namun, dalam drama yang kita buat
sendiri itu, secara langsung kita dituntut oleh keadaan untuk berperan menjadi
orang periang, orang jahat, orang melankolis, dan karakter orang lainnya, tapi
sejatinya diri kita ada saat kita sedang sendiri, saat kita berdamai dengan
hidup yang sebenarnya, hidup yang tiada.
Terima kasih Henry C. Widjaja atas FotoPuisimu, membagi sedikit duniamu. Semoga diberi kesehatan selalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar