Halaman

Dok.

Belum lama ini secara tak sengaja saya membaca sebuah catatan dari Firman Ichsan di Pohon Hayat (Jurnal kesenian IKJ vol 1 no 1 Mei 2009) yang menurut saya sangat pas jika dijadikan sudut pandang untuk melihat sebuah fenomena yang terjadi di kampus saya.

Saya menyadur catatan Firman Ichsan di jurnal itu yang beberapa menceritakan tentang “perlakuan” terhadap pelaku fotografi di zaman awal kemerdekaan.
“Di era itu, para pelukis telah mencantumkan nama mereka di bidang kanvasnya. Berbeda dengan kakak beradik Mendur dan kawan – kawan yang tergabung dalam IPPHOS. Foto pengibaran Sang Saka Merah Putih 17 Agustus 1945 yang tercetak di jutaan buku sejarah, tidak juga menjadikan nama mereka dikenal masyarakat umum. Semangat nasionalisme (dan kolektif) mereka mendahului identitas mereka secara pribadi. “
Dan di halaman berbeda Firman Ichsan menuliskan sesuatu yang baru saya ketahui :
“Tetapi penting dicatat kerja keras Yudhi Soerjoatmodjo di tahun 1990 an untuk kredit nama juru foto di media massa cetak, hak cipta serta hak pakai foto yang sering disalah artikan. Mengacu pada hilangnya pribadi (nama pencipta) pada karya – karya sejarah di Indonesia di awal – awal tahun kemerdekaan tadi, kini nama juru foto tertera sebagai pencipta dan bukan lagi: dokumentasi XX (nama media cetak) yang tertera pada sisi foto di satu penerbitan.”


Melihat perlakuan beberapa teman – teman saya terhadap foto – foto mereka di Tugas UAS matakuliah Jurnalistik 1 yang lalu itu membuat saya miris. Apa yang membuat saya miris mungkin tak perlu saya jelaskan karena pastinya kalian tahu penyebabna. Terlepas dari apa latar belakang mereka membuat itu. Sekarang yang perlu dipikirkan bagi saya cuma : Apakah dalam tugas jurnalistik ini, kita yang “berlagak” seolah pewarta foto ini, mau disamakan dengan pendokumentasi? Oia, Btw, pihak dosen (jurnalistik) saya kok diam saja ya??? *siul-siul*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar