Pada umumnya manusia "memandang tanpa melihat, mendengar suara tanpa mendengarkan, menyentuh tanpa merasakan, mengecap tanpa menangkap rasanya, bergerak tanpa ada kesadaran fisik, menghirup udara tanpa menyadari bau dan wewangian, dan berbicara tanpa berpikir"Sekiranya, ucapan da Vinci itu abadi, dia memang manusia yang entah apa namanya, hahahaha. Namun, kata-kata itu sepertinya mesti dirasuki lebih dalam untuk tidak hanya memaknainya secara kata saja.
(Leonardo da Vinci)
Di lingkungan akademis saya, saya sudah muak dengan arogansi orang-orang di dalamnya yang 'buta' dan memagari pikiran mereka dengan pagar yang menjulang sangat tingginya, kebebasan yang semestinya diperjuangkan dan dijunjung setinggi-tingginya malah dibiarkan benar-benar bebas di luar pagar, sementara di dalamnya, ortodoks! sungguh lingkungan yang menyeramkan.
Quote di atas lalu saya sambungkan dengan cuplikan percakapan Najeeb dan Amena, dua karakter di Iram, Kota Tiang Tinggi, salah satu dari lima kumpulan naskah drama Kahlil Gibran yang berjudul Drama Manusia
Najeeb: Akan datangkah suatu hari ketika manusia akan menemukan melalui pengetahuan ilmiah, pengalaman, dan manifestasi duniawi terhadap apa yang selama ini telah diketahui jiwa melalui Tuhan, dan yang hati kita ketahui adalah kerinduan? Haruskan kita menunggu kematian dengan maksud memapankan keabadian cita-cita sendiri? Akankah datang suatu hari di mana kita akan merasakan dengan jari-jari tangan kita rahasia besar yang sekarang hanya dapat kita rasakan dengan jari-jari keyakinan kita?
Amena: Ya, hari itu akan datang. Namun betapa bodoh orang yang melihat, tanpa bertanya, eksistensi abstrak itu dengan sebagian indera mereka, tapi tetap meragukannya hingga eksistensi itu mengungkapkan dirinya sendiri kepada seluruh indera mereka. Tidakkah keyakinan perasaan hati itu sebenar pandangan indera penglihatan? Dan betapa picik seseorang yang mendengar nyanyian burung malam dan melihatnya melintas di atas cabang-cabang pohon, tapi tetap meragukan apa yang telah dia lihat dan dengar hingga dia menangkap burung itu dengan tangannya. Tidakkah sebuah porsi dari inderanya sudah cukup? Betapa aneh orang yang memimpikan kebenaran dari sebuah realitas yang indah, kemudian, ketika dia berupaya untuk membentuknya dalam sebuah bentuk tapi tidak berhasil, meragukan mimpi itu dan mencampakan realitas itu serta tidak mempercayai keindahan. Betapa buta orang yang membayangkan dan mengukur materi dalam seluruh bentuk dan sudut yang sebenarnya, dan ketika dia tidak berhasil membuktikannya secara lengkap dengan ukuran-imajinasi palsu dan bukti-bukti kata, percaya bahwa ide dan imajinasinya hanyalah objek-objek kosong! Namun ketika dia merenungkannya dengan ketulusan hati dan merenungkan kejadian ini, dia akan memahaminya dengan keyakinan bahwa ide adalah bagaikan realitas burung dan langit itu, yang merupakan sebuah segmen pengetahuan yang tidak dapat dibuktikan dengan bentuk dan kata-kata, karena ia terlalu tinggi dan terlalu luas untuk ditangkap dalam satu waktu; terlalu dalam untuk mewujudkan yang spiritual tunduk pada yang nyata
(Kahlil Gibran, Drama Manusia, Terjemahan Ruslani, Yusup Priyasudiarja, h.39-42)Dalam memaknai sepenggal percakapan di atas memang sangat subjektif, tapi bagi saya itu sangat mewakili perasaan saya, hahahaha. Bagi saya, tak ada yang harus, tak ada biasanya, tak ada trend, dan tak ada-ada yang lainnya, yang ada sekiranya kita dan diri kita sendiri, kita lah yang memproduksi diri kita sendiri, bukan malah hasil reproduksi orang lain, meskipun pada prosesnya, kita harus tahu apa yang sudah diproduksi orang lain, tapi bukan berarti kita secara logika saja mengikutinya. Dan lucunya, ucapan saya barusan menandakan saya melanggar ucapan saya sendiri di awal, hahahahaha. dan itulah intinya, tak ada yang penting, jadi, biarkan diri kita bebas tanpa mengaharuskan ini itu, atau sebaiknya ini itu, saling menghargai tentu akan lebih sangat menyenangkan, meskipun jelas kadang-kadang akan menyakitkan, hahahahhahahahahahahahahahaha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar