"Fotografi adalah merekam"
Saya paling heran dengan kata-kata yang sering diucapkan dengan penuh keyakinan itu. Kata-kata dari salah zatu tokoh/kelompok yang sudah mapan itu turun temurun membudidaya ke teman-teman yang sepertinya lupa mengkonsumsi berbagai macam sejarah dan wacana.
Sebenarnya saya tak masalah dengan kalimat itu, tetapi jika hanya untuk menunjukkan eksklusivitas fotografi, saya rasa itu kurang ideal. Apalagi kalo sudah ditambahi dengan embel-embel "paling dekat dengan realita". Bagi saya itu adalah pembelaan.
Seni-seni yang lain juga merekam, merekam apa yang dilihatnya juga, apa yang diingatnya juga, kenangannya, rasanya, dan lain-lainnya. Meskipun iya fotografi memang 'alat' yang paling obyektif dalam penampakkannya, tetapi apakah obyektivitas dirasa cukup untuk memuntahkan atau menaungi subyektivitas? Apakah obyektivitas yang mempelajari "orang lain" itu dirasa cukup untuk subyektivitas yang ingin mempelajari "diri sendiri"? Memang akan selalu ada dua poros (selalu dua poros) itu berbenturan. Namun, mencari mana yang paling benar adalah kesia-siaan. Membuka pikiran adalah idealnya, dan tentu saja jangan dilupakan membuka hati, rasanya.
Biarlah fotografi sebagaimana fotografi itu sendiri. Sebagai alat yang bisa dimanfaatkan untuk apa pun. Bahkan bisa bukan alat, kamera sebagai medium fotografi bahkan pada tingkat tertentu bisa menjadi seorang 'aku'. Kalau pun fotografi memang fitrahnya adalah merekam, bisa juga kan untuk merekam "fiksi", tak melulu realita yang absurd ini. Hihihihihihi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar