Halaman

Pagar di Sana



Pagar besi itu dari baja ringan yang kekakuannya tidak perlu diragukan lagi. Pagar-pagar di halaman milik tetangga kita, rasanya cukup sempurna untuk melindungi si pemiliknya. Pagar itu tingginya tak terkira dan selalu tertutup rapat, tak ada rongga sedikit pun untuk menengok apa-apa yang ada di serambinya. Kucing secerdas apa pun sepertinya tak akan mampu menyelundup masuk untuk rebahan siang, barang sebentar.

Soal kucing. Pernah ada satu kucing. Satu-satunya kucing yang pernah dekat dengan kita dulu. Kucing yang tak pernah absen untuk tidur di depan pintu masuk kita, setiap hari, setiap siang. Kita sepakat untuk membiarkan kucing itu berbuat semaunya karena kucing juga binatang, seperti tikus, nyamuk, cicak, dan kecoa. Bahkan, mungkin kucing lebih sopan sekaligus lebih anggun dari mereka semua. Halaman kita juga terbuka, tidak berdiri besi, kayu, pohon, bahkan bunga. Hanya rumput yang tumbuh semaunya. Jadi, kucing itu  tidak perlu berpikir keras untuk menyelundup masuk ke halaman dan serambi kita. Dulu kita percaya-percaya saja; menyediakan tempat berteduh untuk seekor kucing juga sebuah amal ibadah yang pasti dicatat oleh Yang Maha Kuasa.

Jika catatan itu kemudian dibatalkan, itu karena kekhilafan kita karena jengkel dengan tabiat si kucing; kesukaannya menggosok-gosokkan badannya ke kaki kita. Bila kita menghindar, kucing itu akan terus mengejar. Tentu itu menjengkelkan. Siapa yang mau untuk terus diikuti langkahnya? Meskipun yang mengikuti langkah kita adalah kucing, tentu tetap menjengkelkan. Mengumpat, tidak hanya kamu, aku juga tidak bisa menahan makian kepada si kucing karena terus menguntit ketika hendak berjalan mencari angin segar di sekitar halaman.

Di suatu siang yang panasnya cukup untuk membuat seorang anak kecil menangis, kita pernah duduk bersama kucing itu di halaman dan mengajaknya bicara. Sebelum memulai pembicaraan, kita terlebih dahulu menamai si kucing itu. Berpedoman dari daftar umpatan yang kita buat.

njing
njing
njing 
njing
njing 
njing
njing 
njing
 ....... 

Ternyata umpatan kita membuat premisnya sendiri. Akhirnya, njing menjadi nama si kucing yang kita sepakati sementara, khususnya ketika kita berbicara dengannya, siang saat itu.

“Kehendakmu itu apa njing?
Kamu mulai melempar pertanyaan yang cukup tidak masuk akal, bahkan untuk pertanyaan pertamamu kepada si kucing.

Kucing itu tentu hanya menatapmu, kakinya yang menyembunyikan cakar menggaruk-garuk badannya. Lalu kucing itu seolah-olah menyeringai hebat. Taringnya terlihat, nampak tajam dan mengerikan. Namun, semengerikannya taring kucing, lebih mengerikan kecoa-kecoa yang beterbangan, pikirku.

Tidak adanya jawaban, tak membuatmu menyerah untuk melanjutkan pertanyaan.
“Dua ditambah dua sama dengan berapa njing?
Mendengar pertanyaanmu, aku tak mampu menahan umpatanku.
“Anjing! Si njing ditanyaian matematika!”
Namun, setelah mengumpati pertanyaanmu itu, aku sadar bahwa pertanyaanmu sebenarnya bukan pertanyaan matematika. Pertanyaan kedua sama halnya dengan pertanyaan pertama.

Setelah puas menatap kekosongan mata kucing dan percuma juga menunggu jawaban keluar dari mulutnya, maka setelah itu, jika kamu ingat, aku tidak bertanya satu pertanyaan pun pada si njing, tetapi aku lekas menatapmu dalam-dalam sambil menanyakan sesuatu, “hei, apakah kamu baik-baik saja?”



Di tempat dan waktu yang hampir sama seperti  peristiwa waktu  itu, sekarang aku sedang bersama seekor kucing yang beberapa hari ini mempunyai tabiat yang sama dengan si njing. Setelah beberapa saat memperhatikan tingkah laku kucing baru ini, lantas aku teringat sosokmu.

Hei, di sana, apakah kamu baik-baik saja?