Halaman

GANGGUAN PADA TATAPAN YANG JAMAK

*sebuah kisah penyuntingan 




Pada tanggal 23 Oktober 2018, saya bertemu Widie Ravita di Semesta. Meskipun berasal dari almamater yang sama, kami sebenarnya jarang bertemu. Di kampus pun, dulu, tidak banyak percakapan yang terjadi di antara kami, paling hanya bertegur sapa seperti makhluk sosial kampus pada umumnya. Namun, pada pertemuan siang hari itu, kami menghabiskan cukup banyak waktu untuk bercakap-cakap.

Pertemuan kami mempunyai latar belakangnya. Beberapa hari sebelumnya, saya melihat sebuah foto yang diunggah oleh Widie di feed Instagram. Sebuah foto payudara perempuan dengan telur mata sapi sempurna menempel di putingnya. Foto yang cukup berhasil membuat antusias dan menggerakkan saya untuk memberi reaksi.  

Sebuah emoji kaktus adalah reaksi sebagai bentuk dukungan saya terhadapnya. Saya mendukung sebuah image yang bagi saya adalah ekspresi seksualitasnya. Saya berharap Widie bertahan untuk melanjutkan konten foto seperti itu. Oleh karena sebuah keberanian selalu perlu keberlanjutan, kan. Bagi saya pribadi, seksualitas tidak hanya berbicara terkait relasi fisik, melainkan juga relasi mental. Peran ekspresi seksualitas bagi saya juga salah satunya sebagai ekspresi untuk terus mempertanyakan relasi kuasa yang ada di sekitar kita, dengan tujuan sederhananya; “Keinginan untuk bisa duduk bersama”. Saya menduga foto telur mata sapi tadi adalah awal studi untuk proyek fotonya terkait seksualitas.

Dugaan saya benar. Widie memang sedang mulai mengerjakan proyek foto di instagramnya. Selang sehari setelah saya memberi reaksi, Widie mengajak saya bertemu dan menceritakan latar belakang proyeknya yang kala itu diberi tajuk “Familiar Shape”. Latar belakangnya kental dengan pengalaman pelecehan seksual yang ia hadapi, baik di dunia nyata maupun maya. Juga pandangannya terkait bagaimana peran budaya patriarki dalam merepresi ekspresi, seperti bagaimana cara mengekspresikan diri melalui tubuh dan busananya selalu dinilai keliru. Ia juga menceritakan bagaimana mengganggunya penilaian dan pelabelan negatif yang diberikan orang-orang kepadanya. Siapa yang terima dianggap sebagai perempuan murahan begitu saja?

Familiar Shape adalah sebuah bentuk resistensi atas pelabelan negatif yang disematkan padanya. Ia bercerita, proyek ini berawal darinya mengunggah sebuah foto buah sawo yang ia belah menjadi dua bagian di Instagram. Respon yang ia dapat dari direct message orang-orang atas unggahan tersebut memantikanya untuk memulai sebuah eksperimen, atau yang saya tangkap sebagai sebuah permainan. "A Play".


Cerita eksperimennya yang tertangkap sudah cukup menggerakkan saya untuk mempersunting proyek fotonya. Bagaimana jika proyeknya ini berkolaborasi dengan SOKONG! untuk kemudian nantinya dipresentasikan ke dalam sebuah buku foto?

Kenapa buku foto?

Berangkat dari penyikapan Widie sendiri dalam memosisikan aktivitas artistiknya di media sosial ini sebagai penelitian. Penelitiannya terhadap bagaimana kecenderungan orang-orang dalam menatap dan merespon foto-foto alam benda yang ia unggah di sosial media, khususnya Instagram. Instagram sendiri adalah sebuah galeri virtual yang di dalamnya berisi ‘gambar-gambar yang cair’ dan ketika didekati melalui strategi artistik tertentu, seperti dalam kasus ini; memproyeksikannya ke dalam buku foto, gambar-gambar itu nantinya bisa menjadi padat, konkret, tersentuh, sampai nantinya punya potensi untuk menjadi sebuah peristiwa. Ya, buku sebagai peristiwa adalah potensi yang saya lihat dalam proyek buku foto miliknya, selain tentu saja, buku foto bisa menjadi medium yang komprehensif bagi Widie sendiri dalam mengikat temuan-temuan di dalam penelitiannya.

Widie menyambutnya dengan baik dan kolaborasi kami pun dimulai.

Ketika mengambil posisi sebagai penyunting di dalam proyek ini, langkah pertama yang saya lakukan adalah mencari kata kunci. Kata kunci pertama di proyeknya Widie adalah respon, reaksi, tanggapan, penilaian, percakapan… Respon-respon ini nantinya yang saya bayangkan akan menjadi penggerak alur foto buku ini.

Ada yang Widie ingin capai sebenarnya di dalam merangsang respon orang-orang yang menatap foto-foto alam bendanya. Bagaimana ia ingin menormalisasikan tatapan. Bahwa strateginya dalam melakukan substitusi bagian-bagian tubuh sensitif dengan foto alam bendanya adalah strateginya untuk menormalisasi tatapan tersebut.

Saya sendiri mencoba menginterpretasikan ulang apa yang disebut normalisasi ini. Saya membawa normalisasi ini lebih ke arah penundaan. Bagaimana Widie, di dalam proyeknya, secara halus ingin menyugesti orang-orang  yang menatap foto-foto yang dekat dengan perwujudan organ-organ vital manusia tersebut untuk menunda penilaian atas apa yang sedang ditatapnya, untuk terlebih dahulu meraba konteksnya agar tidak terburu-buru melayangkan penilaian tanpa tedeng aling-aling terhadap apa dan siapa yang sedang dilihatnya. Mempertangguhkan penilaian. 

Konteks? Lucu ya…..

Bagaimana caranya orang-orang yang bermain di sosial media bisa punya nalar dan kesadaran untuk mengetahui konteks? Ketergesaan yang menjadi sifat media ini sendiri sulit untuk mengondisikannya. Oleh karena itu, buku foto sekali lagi menjadi media yang vital untuk memberi konteks pada si pembuatnya dalam memberi pernyataan dan penegasan bahwa apa yang ia ekspresikan “tidak-hanya-demikian”. Ada sebuah wacana yang sedang dibawanya. Upaya penulisan kisah penyuntingan ini juga merupakan upaya pemberian konteks dari sisi yang lain terkait proyek buku foto Widie.



Buku foto ini berbasis pada materi yang dibuat dan didapat Widie di akun instagramnya. Pada awalnya, terdapat dua materi yang sudah dan sedang dikerjakannya. Pertama adalah foto alam benda yang ia potret melalui kamera ponselnya. Kedua adalah (screenshots) respon yang ia dapat di direct message. Menariknya, saya menggaris bawahi strategi Widie dalam memancing dan mendorong respondennya untuk mengeluarkan apa saja yang ada di dalam pikirannya. Secara halus, Widie membangun dramaturgi di dalam percakapan via direct message-nya. Strategi dramaturgi yang membuat narasi di dalam buku foto ini secara mandiri dibangun perlahan oleh teks dari para responden tanpa perlu kata yang berlebih dari Widie sendiri.

Lalu, bagaimana mendekati teks seperti ini? Bagaimana hubungan teks dan foto alam benda Widie?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut membawa saya pada sebuah pengalaman membaca salah satu teks pertunjukkan karya Afriza Malna, "Migrasi dari Ruang Tamu".

- rumah kok tambah bikin bingung, ya? semua benda seperti menyusunku semaunya. mengajakku pulang segala. pulang ke mana?
- memang. tidak ada sidang kabinet di sini, ya? presiden juga tidak ada. tapi kita kok seperti dipimpin sama kursi, meja, lampu, tv, kulkas. eh, mana kulkasnya, ya?
- mereka menyiksa kita seperti bahasa dalam pikiran kita, ya?
- ya, seperti tentara yang nyerbu kita tanpa peperangan, kan?
- bangsa-bangsa telah bergerak dalam ruang tamu kita sendiri. rame, ya? pada pakaian yang kita pakai, pada flu di hidung-ku. tetapi apa mereka memiliki kesusastraan seperti mereka memiliki senjata, ya?

Bagi saya, teks Afrizal memperlihatkan kesibukan pikiran yang dimiliki oleh manusia. Sebuah strategi pemancaran di dalam percakapan. Bagaimana atap persepsi dibiarkan bocor tanpa perlu ada ember (anchor) di bawahnya sebagai wadah. Pendekatan teks seperti ini yang saya adopsi ke dalam penyuntingan respon yang didapat Widie, dan tentu saja pembongkar pasangan ini sepenuhnya dilakukan secara digital, mengikuti materi awalnya. Strategi pembiasan proyeksi agar seolah-olah hanya ada dua subjek yang melakukan percakapan, meskipun kenyataannya tidak. Bisa dikatakan, tindak penyusunan/konstruksi respon yang didapat oleh Widie adalah strategi utama untuk membangun struktur buku foto ini.


Di dalam upaya pengembangan konten fotografinya sendiri, Widie melakukan pendekatan yang lain terhadap foto alam bendanya di mana ia mulai mengintervensi objek fotonya yang seringkali buah-buahan. Tindak intervensi yang dilakukannya bermaksud untuk memberi tekanan ataupun pelepasan di dalam komunikasi visual menyangkut relasi kuasa di dalam tataran seksualitas.

Bagaimana Widie mengintervensi objek-objeknya pun beragam caranya, dari memberi sentuhan sederhana di titik-titik tertentu, memegangnya, mengulumnya, menambahkan objek lain, sampai montase digital.



Di dalam strategi penyuntingannya, foto-foto tersebut, baik yang didekati secara direct shot maupun stage shot, disikapi sebagai foto tunggal. Penyikapan ini tidak bisa terlepas dari mana asal foto-foto tersebut; Instagram. Ketika hubungan antara sebuah foto dan respon yang didapatinya secara langsung tidak mungkin bisa dilepaskan. Oleh karenanya, di dalam setiap spread halaman, hanya akan ada satu foto yang secara langsung berhadapan dengan setiap pembaca.

Ukurannya pun diperhatikan, khususnya untuk foto-foto yang didekati secara direct shot dan menggunakan kamera ponsel. Ukuran yang dipilih mengadopsi ukuran yang ditawarkan oleh instagram sendiri, 1080 x 1080 px (9,14 x 9,14 cm). Pengadopsian ukuran ini adalah strategi penyuntingan untuk tetap membawa konteks dari mana foto ini berasal.

Di tengah kerja Widie dalam membuat konten foto dan mengumpulkan respon yang didapatnya, ada satu materi respon yang kami lihat dengan cara pandang baru. Kami menyebutnya “respon bergambar”.


Hal yang membuat respon bergambar ini menarik selain mengayakan bentuk respon ‘publik’ Widie sendiri, juga perannya dalam menjadi jembatan atas alur yang sedang dibangun di dalam struktur buku foto ini, khususnya peran krusialnya dalam menjebatani antara hubungan teks dengan teks dan teks dengan foto di dalam beberapa halaman. Respon bergambar sebagai infrastruktur, sebagai jembatan lintas alur.


Ketika semua materi yang dibuat, dikumpulkan, diolah, dan dikembangkan telah padat, baru setelahnya penyusunan materi lebih mudah dilakukan karena infrastrukturnya sudah terbentuk. Penyusunan atau sekuensing ini sendiri sedari awal sudah cukup jelas arahnya, dari apa yang ada di pikiran menuju kehendak Widie terkait menormalisasi tatapan. Perkara mengharapkan respon ‘biasa saja’ dari ‘publiknya’ dalam menatap foto-foto berbau ‘organ vital’ ini memang menjadi motif Widie di dalam tindak artistiknya di dalam proyek ini. Apakah ideologi Widie beraliran naturalisme? Ideologi yang mendesaknya untuk menyebarkan spirit "ALL NATURAL"?!

Beruntungnya di dalam proyeknya ini, Widie pada akhirnya bertemu dengan respon yang ia ekspektasikan, yang memiliki frekuensi yang sama dengannya dalam menyikapi persoalan representasi terkait bagian sensitif tubuh manusia. Respon yang datang tepat pada waktunya dalam menutup penelitiannya lewat buku foto ini. 

Sedari awal proses, Widie menyikapi tindakan artistiknya sebagai healing, meskipun kekerasan secara visual hadir beberapa kali di dalam fotonya. Di balik beberapa kekerasan imajinya, secara keutuhan sikap, Widie masih membawa kehalusan asal usul budayanya. Tercermin dari caranya menanggapi respon orang-orang di dalam direct message-nya, tidak ada yang terluka dan melukai. A Play

Sebagai seorang fotografer perempuan, kesadarannya atas kualitas bahasa otentik yang dimilikinya membuat proyek foto yang ia buat sebagai perlawanan sekaligus pengobatan diri yang terselubung atas gangguan-gangguan dari tatapan yang jamak memang patut di-SOKONG!



* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * ** * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

FAMILIAR GAZE
sebuah buku foto oleh widie ravita




78 halaman
matte paper (isi)
Coronado (sampul)
13,5x20 cm
Digital print
26 foto 
14 screenshots
selembar surat

Harga Rp. 135.000, -

Diterbitkan oleh SOKONG!


Jika ingin memesan buku foto ini, 
silahkan hubungi SOKONG! 
via DM di akun instagram @sokong_publish 
atau kirim pesan via WhatsApp ke nomor 081219169008


Tidak ada komentar:

Posting Komentar