Tulisan ini bermula dari kebingungan terhadap
apa arti sebuah karya. Cukup lama aku tak bisa yakin menjawab pertanyaanku
sendiri, “apa itu karya?”. Pernah
temanku datang ke rumah, sambil melihat apa yang sedang aku kerjakan dan
artefak-artefak yang ada di dinding kamar dan meja kerjaku, juga yang
tergelatak di sudut-sudut rumahku, dia lantas bertanya, “apa yang kamu sedang
dan sudah bikin ini menurutmu karya?”. Itulah pertanyaan yang aku sendiri hanya
bisa menjawab dengan “nggak tahu, sampai sekarang aku hanya menganggap itu
stimulusku untuk mbikin karya”.
Percakapan itu mungkin satu tahun lalu, dan
sampai sekarang pun aku belum memutuskan apa yang bisa kusebut karya itu
(terutama dari apa yang aku buat). Saat artefak-artefak terus kubuat hampir
setiap hari, saat mencapai titik stagnan 
yang membuatku mengambil jeda, biasanya aku pergi keluar untuk
berkunjung ke rumah teman untuk membicarakan apa saja, dan di dalamnya yang
mempunyai porsi lebih adalah diskursus seni, satu topik yang sangat aku
tertariki (dan sedikit teman-temanku tertariki tapi sering tak ketemu lawan
berbicara di lingkungan mereka atau enggan). Dan di sinilah letak masalah yang
lain, saat dalam suasana seperti itu, aku merasakan
kenikmatan lain yang melebihi aktivitasku membuat artefak-artefak yang aku
sendiri tak tahu akan berujung ke mana.
Kenikmatan yang kurasakan ini berpangkal dari
proses dialog, membicarakan keremeh temehan peristiwa atau pendapat orang,
cerita-cerita pribadi dengan topik-topik tertentu yang sedikit orang mau
peduli, porses kreatif mereka, yang pada satu titik tertentu merelakan diri
untuk membangunkan dan mendorong individu untuk menuju ke kamar mandi mereka
agar segera membasuh mukanya agar segar dan kembali sadar. Setelah melihatnya
bisa berjalan sendiri dengan antusias yang tak seperti biasa, menjadi
kebahagiaan yang cukup lebih dari cukup.
Selama ini aku lebih menikmati untuk (meminjam
tulisan Pak Irwandi tentang Verstehen); memahami
dan mengerti, bukan sekedar mengetahui dan menjelaskan. Karena dalam
kenyataannya tidak ada sesuatu pun yang bisa dijelaskan secara pasti, sebab
yang ada hanyalah bahasa, sedangkan isi yang harus dijelaskan ada dalam bahasa
tersebut.
Bahasa (terutama verbal), menurut Sudryanto (doktor di bidang linguistik) memiliki
esensi yang adalah memelihara. Bagiku,
dalam hal ini memposisikan diri untuk sejajar menjadi poin utama. Dialog yang
di dalamnya mengandung simpati dan empati, saling mengisi, menguatkan dan
menggerakkan, bagiku menjadi ketertarikan tersendiri. Kesadaran kolektif. 
Apa ini ada campur tangan hasrat terpendamku
yang akhir-akhir ini mengemuka? Menjadi seorang pengajar. Melihat kebanyakan
pengajar selama ini, mereka seakan punya strata di atas dan yang diajar selalu
di bawah. Para pengajar jarang ke bawah sehingga seperti kebanyakan orang tua, cuma
ingin tahu hasil akhir tanpa peduli apa yang telah dan sedang dialami anaknya. Mereka
juga mengulang apa yang mereka sudah terapkan dari lalu ke yang sekarang.
Pengulangan yang membuat tak berkembang. Mungkin mereka terlalu sibuk karena
mereka mesti membagi waktu dan pikirannya untuk keluarga, proyek, uang, dan
lain-lain. 
Pengajar idealku seperti halnya para wirausaha
yang menciptakan pasarnya sendiri, tidak ikut tren yang artinya gemar
mendobrak. Dobrakan-dobrakan segar yang membuat produk/jasanya meskipun aneh,
tapi punya sisi keunikan tersendiri karena pertama motifnya ingin berbeda, memberi
warna lain agar dunia mereka tidak membosankan dan kedua ingin mengedukasi
sepenurut ideal mereka. Emang dikira gampang? Namanya juga idealnya kan?
Sekedar andai-andai, hahahahhaa.
“To be a teacher is my greatest work of the art. The rest is the waste product, a demonstration”.
Joseph Beuys dalam wawancaranya di tahun 1969.
Sampai pada titik ini, aku merasa apa yang dikatakan oleh Beuys sangat benar
dan beralasan karena aku sedang mengalaminya di posisi yang belum siapa-siapa
saat ini (shit!).
Untuk menuju kebahagiaan ke arah itu, pada
awal tahun 2015 ini, sejujurnya aku sudah merintisnya secara sadar, meski
berupa langkah-langkah kecil, tapi bukankah seperti apa yang dikatakan Bryulov,
“Seni berawal dari sentuhan-sentuhan paling kecil”. Sampai saat ini yang
kugenggam adalah; Dia (pengajar) menggerakkan sesuatu yang semula terkurung
atau mengurung. Dia mengajaknya bergerak bersama untuk membangun dan
menciptakan sesuatu. Apakah sesuatu itu nantinya akan terus bergerak dan
berkembang? Itu akhirnya bergantunya pada dia sendiri akan kesadarannya, akan
bahasanya yang dia gunakan untuk memelihara. Sekali lagi, kesadaran kolektif.
Kesadaran-kesadaran ini membantu untuk menyeimbangkan
yang selama ini dia sendiri kerjakan, tentang proses menciptakan sesuatu yang
berwujud, yang berasal dari cipta, rasa, karsa manusia katanya, yang mungkin
hanya akan sekali-kali ditengok oleh dirinya sendiri, di dinding kamar dan meja
kerjanya, atau di sudut-sudut rumahnya.
Mana yang lebih bergerak? Mana yang lebih
nikmat? Mana yang lebih berguna? 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar