Pernah ada sebuah peristiwa
haru, bagaimana seseorang sepertimu bisa menangis, meskipun tidak tersedu-sedu,
ketika merasakan sebuah pertemuan yang selama ini ditunggu. Peristiwa yang kamu ungkapkan dengan sebuah perumpamaan, “Seperti mendengar nyanyian
angin”. 
“Tidak ada pertemuan
yang sempurna. Sama seperti tidak ada keputusasaan yang sempurna,” katamu menambahkan.
Aku pernah kenal dengan ungkapan-ungkapanmu, tetapi aku lupa di mana aku mengenalnya.
Mungkin ungkapanmu dulu adalah milik seseorang yang kukenal secara tidak
sengaja di sebuah halaman milik seorang pengarang. Namun, tidaklah penting
mengingat-ingat siapa pengungkap pertama. Ungkapan itu sekarang sedang melekat
di benakku dengan namamu tertera di bawahnya.
Usiamu kala itu menginjak
dua puluh tujuh. Aku tidak bisa lupa dengan dua buah angka yang mampu mengurungmu dalam ruang hampanya. Nafasmu sesesak kisah-kisah putus asa yang sering kamu sampaikan dalam jangka waktu itu. Aku memang tidak pernah mendengar keluhanmu,
tetapi raut muka, tatapan sunyi, dan antusiasmemu sudah cukup bersuara bagiku,
serasa ingin mengatakan bahwa apa yang kamu perjuangkan sejauh ini tidak berdentang.
Perjuangan-perjuangan tenggelam di reruntuhan bersama tekad. Meskipun begitu,
aku tidak pernah cemas. Ada sebatang rasa percaya kelak akan datang masamu.
Dan benar saja.
Datanglah suara-suara itu. Suara-suara yang memanggilmu, mengelusmu, memojokkanmu, mencakarmu, menamparmu, mencumbuimu, menindihmu, dan
membenamkanmu. Darah mengalir deras di pembuluhmu, denyut jantungmu
mengerjap-ngerjap, kilatan-kilatan cahaya mulai nampak di atas kepalamu. Aku
bisa melihatnya, meskipun aku tidak mampu mendengarkannya.
Dari tetesan air matamu,
aku bisa melihat suaramu. Suara haru biru yang cukup punya kekuatan untuk membenamkan
seluruh semesta keputusasaan.
