Halaman

Binding

Ketika menulis ini, waktu menunjukkan pukul 03.37. Suasana hening. Saya baru pulang dari sebuah warung kopi langganan. Keberadaan saya di warung kopi tersebut maksudnya baik, menemani Nia untuk merevisi skripsi sekaligus meredakan kekecewaan saya terhadap tempat percetakan di mana dummy buku foto yang sedang saya kerjakan dicetak di sana. Namun, kehadiran saya di warung kopi ternyata tidak banyak memperbaiki rasa kecewa. Jika ada satu hal yang bisa saya sebut itu baik adalah suatu pemikiran tentang jasa finishing buku (foto). Bagaimana jika SOKONG! membinding sendiri setiap buku yang diterbitkannya. Berbicara soal jasa finishing buku di Jogja, sungguhlah mengecewakan. Melihat jejak kebiadaban para operator penjilidan di percetakan tersebut membuat hati saya perih. Tidak ada jasa pembinding yang bisa diandalkan di Jogja. Kenapa tidak membinding sendiri buku foto kami dengan keadaan infrastruktur seperti ini?

Deni adalah rekan kerja saya di SOKONG, bersama Nia, Albab, dan Gobi. Setalah saya kabari kondisi dummy buku foto yang baru saya ambil, Deni langsung menghampiri saya dan Nia di warung kopi. Pemikiran perihal membinding buku sendiri ini juga atas obrolan dengannya mengenai inkonsistensi jasa percetakan dalam membinding setiap buku yang mereka kerjakan. Jika finishing ingin baik, maka konsekuensinya harus cetak offset di mana kondisi keuangan untuk produksi harus juga baik. Sedangkan untuk mencetak buku skala kecil, sulit untuk mendapatkan kualitas yang diinginkan. Lalu ada hal yang mengganjal perkara ekspektasi yang tak sampai ini. Apakah ini menyangkut kesempurnaan? menyangkut juga kontrol atasnya? 

Bagaimana kita mengontrolnya? Sebuah keniscayaan! Seharusnya saya sadar sedari awal akan hal itu. Namun, standar-standar akan kesempurnaan yang dikonstruksi oleh industri dengan mesin-mesinnya dan media yang saya konsumsi seperti sudah menubuh di dalam pikiran saya dalam memandang suatu produk. Di pertemuan tadi, Deni melontarkan sebuah konsep yang bisa menjadi penawar sekaligus antitesis terhadap konsep kesempurnaan itu. Wabi-sabi. Saya mencoba memahami konsep itu seperti bagaimana kita membiarkan sesuatu yang bergulir, seperti dibiarkannya sebuah batu yang menggelinding dari tebing. Di mana batu itu akan berhenti dan seperti apa bentuk batu itu nantinya adalah sebuah batu itu sendiri. Tidak ada upaya untuk menjadikan batu itu adalah batu yang kita temui dan kenali di awal. Batu itu ketika menggelinding mungkin akan bertubrukan dengan batu lain, elemen lain, hal lain yang membuat batu itu tergores atau tercuil, maka dibiarkanlah, untuk menjadi. 

Sebagai seorang teman, saya mesti berterimakasih padanya. Kami sudah sepakat untuk mendalami konsep ini lebih jauh di pertemuan-pertemuan kami selanjutnya. Semoga menemukan solusi binding yang meskipun lambat, tapi sehat.





























"Saya tidak suka kesempurnaan atau usaha keras untuk itu - saya pikir itu keinginan berbahaya dan keinginan yang membuat orang takut akan humanisme mereka sendiri dengan menyangkal tubuh dan pikiran mereka yang cacat". 
- Sarah White

Tidak ada komentar:

Posting Komentar