Malam ini memutuskan untuk menonton IDRF (Festival Naskah Lakon) di Auditorium IFI-LIP. Menonton pertunjukan sekelompok orang membacakan naskah lakon rasanya menyenangkan.
Benar.
Aku menikmati satu setengah jam pertunjukan pembacaan naskah Emesis karya Heneliis Notton oleh Landung Simatupang dan Perkumpulan Seni Nusantara Baca.
Di tengah kegelapan bangku penonton, aku merasa nyaman.
Di tengah pertunjukan, ada sekelibat pikiran datang. Aku sedang berada di Kota Yogyakarta. Kota yang memiliki agenda seni tiap bulan, bahkan mingguan. Dari pameran, penayangan, sampai pertunjukan seni. Orang-orang di kota ini suka membikin acara berskala festival. Komunitas-komunitas seni di kota ini juga gemar membuat program publik seperti diskusi dan lain-lain. Belum ruang-ruang seni dan literasi yang sudah punya program rutin. Kenapa aku sudah jarang sekali menyediakan waktu untuk merengkuh dan menikmati semua ini?
Di tengah menjalani peranku sebagai penerbit, aku tidak ingin sibuk sendiri. Sudah mulai ada kebutuhan untuk menikmati hidup di kota ini. Dan sekarang, seolah, aku tahu bagaimana menikmati kota ini.
Aku menyesal tidak menonton pameran Dolorosa Sinaga di Jogja National Museum. Pamerannya berakhir hari ini. Konyol memang, melewatkan pameran yang berlangsung selama satu bulan. Tentu pameran Dolo bukan satu-satunya yang aku lewatkan. Sejak beberapa tahun lalu, hampir semua pameran seni rupa aku lewatkan. Lama tertanam di benakku kalau apa yang tersaji di pameran seni rupa tersebut adalah "omong kosong dagangan". Buatku malas datang ke pameran-pameran, bahkan yang dianggap penting oleh banyak orang.
Ya sudah. Setidaknya, sekarang, aku punya motif baru untuk mendatangi acara-acara kesenian itu di masa mendatang. Ya, untuk menikmati kota yang aku tinggali ini. Tidak semua kota memiliki paket komplit peristiwa seni seperti di sini. Mau buat dagangan atau pendidikan atau pemberdayaan, terserah. Aku hanya ingin menikmati kota ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar