Seperti menonton televisi. Aku teringat dengan seorang seniman bernama Christian Boltanski di dalam salah satu wawancaranya yang pernah kubaca. Menonton televisi dengan membisukannya adalah sebuah cara untuk mengosongkan pikirannya. Mengikuti saja apa yang hadir di hadapan. Gambar di dalam televisi hanyalah sebuah pengantar menuju kekosongan.
Kekosongan yang seperti apa?
Di pikiranku hari ini, aku masih belum bisa terlepas dari ingatan akan baju, celana, dan sweeter yang dicuci secara diam-diam oleh ibuku. Secara diam-diam karena tanpa persetujuanku. Ibu tidak tahu bahwa aku tidak ingin mencucinya hari ini dan ibu tahu besok aku pulang ke Jogja. Pulang? Bukankah di sini adalah rumah orangtuaku, rumahku juga? Lupakan.
Aku sedang banyak membaca cerita pendek yang kisahnya berhubungan dengan rumah. Membaca berbagai cerpen koran Minggu yang terarsip dengan baik di sebuah situs web menjadi salah satu pekerjaanku akhir-akhir ini. Cerpen terakhir yang kubaca berjudul 'Durian Ayah' yang mana pengarangnya, Rizqi Turama, seusia denganku. Satu titik di dalam cerpen itu yang masih membekas di ingatanku adalah pada bagian ini,
Seperti manusia, pohon tidak matang dan dewasa di usia yang sama. Mereka punya perjuangan sendiri-sendiri menuju sana.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar