Halaman

4 Juli 2022

Hari yang mengharukan. Aku sempat limbung soal kondisi binatang peliharaan bernama Koneng satu ini. Aku merasa bersalah. Sudah terlambat. Tidak ada yang bisa aku lakukan lagi. Dua tahun sudah aku merawatnya. Jika datang waktunya untuk dia pergi, maka akan aku terima. Aku akan menemani kepergiannya. Kondisinya sudah kritis sejak pagi. Badannya melemah. Dia tidak bisa bergerak. Mukanya kuyu. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku sebenarnya bisa melakukan sesuatu sejak dua bulan lalu ketika aku merasa ada yang tidak wajar dengan dia. Khususnya ketika dia ingin buang air besar. Aku curiga kalau dia punya masalah dengan saluran pencernaannya, meskipun makannya masih banyak. Namun, aku membiarkannya. Aku mengira sempat melihat dia buang air besar di salah satu pot tanaman di halaman samping rumah. Aku mulai benar-benar cemas ketika menyadari ada perubahan suaranya. Ngeongannya seperti menandakan dia sakit. Ada yang salah. Tiga hari aku biarkan sampai pagi tadi aku menemukan keberadaannya yang melemah. Ada cairan bening (bukan kencing) yang sering keluar dari duburnya. Oh tidak. Aku melakukan kesalahan. Aku membiarkannya menderita. Aku tidak becus memelihara binatang. Bedebahnya aku membiarkan dia menderita. Aku penunda yang kurang ajar. Bodoh. Sampai Nia meyakinkanku bahwa masih ada kesempatan untuk melakukan sesuatu. Kami membawanya ke sebuah rumah sakit hewan milik salah satu perguruan tinggi negeri di kota ini. Bertemu dengan dokter yang baik hati. Kata-katanya tidak melukai dan memperburuk keadaan kami (sebelumya aku pergi ke sebuah klinik yang reaksi dari para asisten dokternya membuat hatiku terluka). Koneng akhirnya dirawat inap. Ada air mata yang merembes ketika melihat Koneng yang sudah diinfus dibopong ke dalam kandang. Akhirnya dia mendapatkan perawatan yang semestinya. Di parkiran rumah sakit, sebelum pulang, aku dan Nia bertatap muka dan sempat meneteskan air mata bersama. Kita sudah melakukan yang semestinya. Semampu kita T_T

Tidak ada komentar:

Posting Komentar