Empat hari jungkir balik. Aku sedang mengerjakan beberapa terbitan sekaligus. Ada satu, dua, tiga terbitan. Terbitan yang kedua formatnya zine bundel, ada empat zine. Jadi bisa dibilang total aku mengerjakan enam terbitan. Semua terbitan sudah masuk tahap tes cetak. Di tahap tes cetak, aku sudah belajar dari kesalahan-kesalahaku pada terbitan-terbitan sebelumnya. Jadi, secara hasil tidak terlalu mengecewakan. Jika gagal, maka gagalnya lebih baik. Hambatan untuk terbitan kali ini adalah mencari material kertas cover. Aku kesulitan mencari lembaran kertas BC warna ungu dan hijau muda. Bahkan kertas BC warna cokelat tua aku dapatkan di toko yang berbeda dengan toko yang menyediakan BC warna biru tua dan hijau tua.
Aku sudah berkeliling ke berbagai toko kertas dan masih belum menemukan apa yang aku cari. Aku masih akan berupaya mencari pada hari Senin. Jika tidak dapat, maka aku akan cetak cover zine bundel di fotokopian terdekat. Sedangkan untuk cover terbitan zine yang pertama, aku coba cetak di kertas Buffalo. Semoga bisa. Ada tekstur di kertas Buffalo yang membuat aku tidak yakin bisa dicetak di mesin Indigo. Jika bisa, persoalan belum selesai. Kertas yang disediakan di toko kertas biasanya kondisi lembarannya memprihatinkan. Aku malah berpikir untuk menggantinya dengan Materica Verdrigis 120gsm....Ah, tapi hijaunya terlalu gelap. Mencari alternatif material cover ini jadi problem sekarang. Padahal kertas lokal. Aku pikirkan besok Senin saja.
Sulitnya mencari kertas BC berwarna ini membuktikan bahwa infrastruktur toko kertas yang ada di Jogja tidak sepenuhnya lengkap. Malah lebih legkap di fotokopian langgananku di daerah Lowanu. Hal seperti inilah yang membuat penerbit mandiri memutar otaknya untuk mencari solusi alternatif. Jadi serba alternatif lah. Menyiasati keadaan.
Setelah frustasi tidak menemukan apa yang aku cari, akhirnya aku lelah sendiri. Aku tidak mau memikirkannya dulu. Hari Sabtu ini dan Minggu besok, aku mau fokus menulis untuk proyek terbitan YKABF. Baru setengah jalan. Aku menargetkan tulisan ini jadi hari Minggu besok. Biar setelahnya aku bisa fokus menghadapi cobaan produksi terbitan lagi.
Sebelum menutup catatan, aku mau cerita apa yang aku alami selama empat hari ini. Dua momen saja. Di percetakan Ortindo, aku menunggu dua jam hanya untuk mencetak 15 lembar. Merasa disepelekan lagi. Tapi, aku menyabarkan hati. Aku sudah mengantisipasi. Aku bawa novel Lebih Senyap dari Bisikan karya Andina Dwifatma yang baru kubaca setengah. Selama dua jam menunggu, aku menuntaskan novel tersebut. Di bagian akhir novel ini, aku tak kuasa menahan air mata. Di ruang tunggu percetakan, aku menangis. Entah tak kuasa menahan emosi membaca akhir cerita dari novel tersebut atau tak kuasa menunggu lama cetakan. Sepertinya pengalamannya campur aduk. Di hari selanjutnya, aku dilabrak oleh tetangga sebelah rumahku. Dia marah karena kucingku, Megono, buang hajat di halaman rumahnya. Aku tidak terima karena sebelum dia memarahi aku, dia memarahi tamuku yang hendak pergi dari rumah. "Ini kucing Mbak, ya?" Eh si Anjing! Salah nuduh orang woy. Aku bergetar hebat setelahnya, menahan emosi. Akhirnya tubuhku membawa diriku mengetuk pintu rumahnya. Aku nyatakan tidak terima tamuku diperlakukan begitu olehnya. Ini urusan kita, bukan tamuku. Dalam menyampaikan rasa marah pun perlu etika. Dia telah menginjak-nginjak kehormatanku. Tamuku pasti shock, aku pun. Aku tidak terima. Dia meminta maaf, aku pun meminta maaf. Tapi istrinya, si Anjing satunya lagi, tanpa menunjukkan dirinya, meledek aku. Jika aku ingat nada suaranya, ingin kuludahi mukanya setiap dia lewat depan rumahku. Aku menaruh dendam dengan si Anjing itu. Sampai sekarang, aku masih menyimpan dendam. Aku tidak suka diancam. Jika benar kucingku dibuang oleh mereka, akan aku teror mereka dengan segenap emosi dinginku. Teror yang lebih senyap dari bisikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar