Halaman

LAGU TEMA PENGIRING HANYA INI YANG TERSISA

*sebuah kisah penyuntingan




Bagaimana menulis kisah penyuntingan foto yang saya lakukan bersama SOKONG! untuk zine foto karya priambodoyusuf? Ketika menulis di sini saya mencoba memulainya dengan menyalakan spotify dan memainkan sebuah album milik Fiersa Besari berjudul Konspirasi Alam Semesta. Di dalam album tersebut tersusun empat belas lagu yang saya dengar satu-persatu sembari menulis kisah ini.

Sebagai insan fotografi yang mengandalkan intuisinya, saya merasa perlu membagi impresi terhadap musik yang dibawa oleh Fiersa Besari terlebih dahulu karena hubungannya sangat lekat dengan impresi saya mengenai priambodoyusuf atau yang biasa disapa dengan nama Ucup.

'Petualangan, alam pegunungan, keakraban, dan nada-nada yang terdengar tidak asing dan pernah tinggal di masa lalu' dari musik yang dibawa oleh Fiersa mempunyai kesan aroma yang sama ketika saya mencium body of works milik Ucup. Kesan yang muncul itulah yang membuat saya memilih musik Fiersa Besari, tidak hanya ketika saya menulis kisah penyuntingan ini, musiknya juga sengaja saya pilih sebagai teman saya ketika masa penyuntingan zine foto Ucup ini. 

Saya mengenal Ucup sejak ia masuk almamater yang sama dengan saya pada pertengahan tahun 2013. Saya yang saat itu menjadi kakak tingkatnya dan memberi orientasi di awal masuk perkuliahannya, masih ingat dengan jelas akan cita-citanya yang ingin menjadi fotografer EnJi. Dari pertemuan pertama kami yang lampau itu, saya lantas terus memperhatikannya dan melihat perkembangan ketertarikannya terhadap budaya Jepang, astronomi, dan isu lingkungan. Ucup sebelumnya pernah kuliah di IPB sebelum masuk ISI Yogyakarta dan lulus pada awal tahun 2017 lalu. Ketika proses pengerjaan pameran penciptaan tugas akhir fotografi astronominya, saya turut membantu melakukan sekuensing untuk foto-fotonya yang akan dipamerkan di Galeri R.J. Katamsi.

Sejak ia lulus, kami tidak pernah bertemu. Terakhir adalah pertemuan kami pada tanggal 30 Desember 2018 kemarin, ketika ia mengunjungi rumah saya dan bermalam semalam. Di sesi semalam itu, ia bercerita panjang kali lebar mengenai pengalaman bekerja, berkomunitas, dan sesosok 'partner', di Jakarta. Ucup bercerita, partnernya sangat menghormati lingkungan. Hmm....memegang semangat yang sama sepertinya.

kita hanya berjarak / namun bukan berpisah / bentangan kilometer / untukmu kan kutempuh / engkau adalah rumah / tempat yang paling indah / di pelukanmu sayang / aku akan pulang (01)

Dari kisah yang begitu deras diceritakan dari bibir Ucup kepada saya waktu itu, ada satu hal yang menancap di ingatan saya, yaitu ketika ia bergabung dengan komunitas Kebelet Hidup. “Kebelet Hidup?”, tanya saya heran kepadanya sambil memberi senyum simpul kepadanya. Ia lantas menceritakan fokus yang dilakukan oleh komunitasnya dalam membantu siapa pun menemukan passion dan menjalaninya seturut tujuan hidup masing-masing. Menebarkan benih-benih optimisme yang mulai surut di kalangan anak muda, khususnya di rentang usia 20-30 an.

kenanglah hari ini kawan / cerita yang mengagumkan (02)

Ceritanya membuat saya cukup memahami tentang pilihan hidupnya sekarang, di mana ia memilih masuk ke sekolah relawan sebagai jalur untuk menjadi seorang relawan yang baik, bekerja atas dasar kemanusiaan. Soal kemanusiaan ini, ada juga tarikan terhadap ketertarikan dan kegelisahannya mengenai praktik jurnalistik yang ia alami. Mengenai seberapa jauh seseorang dalam menyentuh permasalahan subjek yang diambilnya, khususnya terkait pemberian pertolongan secara langsung/fisik, bukan hanya dengan menjadi saksi mata melalui potonganan-potongan gambar yang bergantung pada arah angin membawanya, sambil berharap publik meresponnya dengan baik. Ucup yang gelisah ini merasa perlu untuk memberikan pertolongan secara jasmani, alih-alih hanya mengabarkan apa yang sedang terjadi. Baginya, keseimbangan terletak di sana. Jasmani dan rohani. Itu pilihan sikapnya. 

bila kau butuh telinga tuk mendengar (03)

Belum lama ini (22 September-27 November 2018), Ucup menjadi relawan bencana gempa di Pulau Lombok. Ia bercerita panjang lagi tentang pertemuan-pertemuan yang ia alami, sembari memperlihatkan sebuah catatan visual yang ia kerjakan di sela pekerjaan sehari-harinya sebagai relawan. Melalui ponselnya, saya membaca satu per satu catatan hariannya tersebut. Lantas setelahnya, saya mengajaknya untuk mengembangkan jurnal ini ke dalam sebuah zine foto yang akan diterbitkan oleh SOKONG!. Ia menyambutnya dengan sukacita dan kami langsung mendiskusikan beberapa hal. Salah satunya terkait relasi catatan pendek hariannya dengan kebutuhan membaca seseorang hari ini yang rasanya perlu alat ukur seperti '3 min read'. 

Sudah jamak sekarang di sebuah konten yang berisikan artikel untuk memberi penanda alokasi waktu untuk membaca. Seperti sebuah platform bernama Medium dalam menyambut calon pembaca dan penulis di halaman pembukanya , "Selamat datang di Medium, di mana kata-kata penting. Kami akan memberikan cerita dan ide terbaik tetang topik yang Anda sukai langsung ke beranda, aplikasi, atau kotak masuk surel Anda", -- dengan fasilitas tempo baca yang sesingkat-singkatnya. Penanda alokasi waktu baca sebagai tindak merespon masyarakat bergegas hari ini?


Bagi saya, catatan-catatan Ucup ini, meskipun pendek, tetap penting untuk memberi perspektif menyamping perihal berita bencana yang disajikan oleh media arus utama. Juga dengan keingintahuan mendasar seseorang terhadap apa yang dilihat dan dipikirkan oleh seorang relawan di lokasi bencana. Apa yang sebenarnya mereka lakukan?

Terkait dengan beberapa bencana alam yang berurutan mendatangi beberapa wilayah di Indonesia, saya teringat dengan Soulscape Road, sebuah buku foto karya Oscar Motuloh terbitan Red & White Publishing yang pernah saya baca di Awor. Ketika membaca buku foto besar tersebut -- yang kata Calibre di halaman merchandise websitenya adalah sebuah karya kontemplasi Oscar Motuloh atas bencana yang hadir di Indonesia -- kegelapan seperti tiba-tiba datang menyelimuti ruangan kafe yang sedang saya singgahi. Kopi yang saya pesan rasanya menjadi tambah runyam. Tidak ada tangis dan tawa yang lumrah di dalam Lintasan Saujana Jiwa, yang saya lihat keretakan ada di mana-mana. Sebuah puisi retak di dalam drama tragedi? Oscar rasanya menekan dan memberi intensi yang penuh pada setiap foto yang ia hadirkan, membuat pembacanya menjadi ikut retak dan hampa. Gaya bernarasi visualnya seperti mempunyai tujuan untuk memberi efek takut dan pilu kepada keangkuhan manusia yang sedang membacanya. Keangkuhan sekecil apa pun.

Di titik ini, sepembacaan saya, kerapuhan manusia adalah sesuatu yang sedang dimaknai, baik oleh Ucup maupun Oscar. Ucup memaknai kerapuhan melalui kata kunci 'puing',  sementara Oscar melalui kata 'retak' sebagai penandanya. Ucup di dalam catatan visualnya, dalam gaya bernarasi, tidak punya intensi untuk menggelap-gelapkan apa yang dilihatnya, malah sebaliknya, membuatnya sedikit cerah. Saya melihat sebuah embrio, bahwa sekeping catatan visual harian Ucup memiliki potensi menjadi antitesis dari karya kontemplasi Oscar Motuloh atas bencana yang hadir di Indonesia jika Ucup sendiri melanjutkan pencatatan ini seacara berkelanjutan.

Dan di sinilah zine sebagai media dipilih, untuk menunjukkan karya proses. Karya proses Ucup dalam memahami makna kerelawanan dan bencana. Zine rasanya tepat sebagai mediumnya dalam memberi jeda atas laku kesukarelawanannya. Selain itu, sebagai medium, zine memberi ruang bereksperimen yang lebih luas dan lebih rileks di dalam proses kerja produksinya, tanpa mengurangi kesungguhan isinya. Seperti kesungguhan pendokumentasian proses kerja kemanusiaan dan interaksi yang Ucup lakukan di sini. Zine bisa menjadi medium yang ringkas untuk menghidupkan dokumentasi proses tersebut. 



Saya yang mengajukan diri menjadi penyuntingnya lantas meminta semua catatan awal yang ia singgahkan di highlight story instagramnya. Ia perlu waktu untuk mencari file asli di komputernya, ternyata pengarsipan file di komputernya sendiri cukup memukulnya. Sungguh terpujilah platform media sosial hari ini yang mampu mengarsipkan dan merawat letupan-letupan kecil sehari-hari, meskipun perannya sebatas hanya bisa dilihat dan diingat, file tidak bisa diakses secara utuh. Kompresi data visual secara fisik terjadi saudara-saudara. Apakah sebuah problem?


belajarlah berjalan lagi / walau langkahmu rapuh / belajarlah percaya lagi / kau tak pernah sendiri (04)

Sambil menunggunya yang sibuk mencari-cari, di salah satu meja kerja dari dua meja kerja yang ada di rumah, saya lantas mencoba meraba-raba potensi penyuntingan untuk zine foto ini. Hal pertama adalah menyecreenshot semua data awal yang ia punya di highlight storynya. “Bagaimana jika dimensi fotomu di zine ini sama dengan rasio yang dipakai oleh story ig. Jadi jika rasionya 9:16, maka kita buat dimensinya 9x16 cm,” tawar saya kepada Ucup di meja sebelah saya. Ia mengamininya karena melihat konteks pembuatan catatan hari ini di mana orang tidak banyak lagi melakukannya di atas kertas atau buku konvensional yang kadang ketika terselip atau hilang, aksesnya lenyap. Tidak jauh berbeda dengan media sosial tentu saja, tetapi resikonya lebih sedikit. 

Lucunya, sehari-hari ini, kita tidak jauh dari tindakan menyecreenshot dalam merekam konten-konten yang kita tertariki. Sebuah album di galeri ponsel kita sendiri pun dikhususkan bernama screenshot. File-file tersebut mempunyai wadah arsip tersendiri. Screenshot juga tindak pendokumentasian, pengarsipan, artistik, dan perawatan terhadap ingatan hari ini, meskipun ukuran file terkompres jauh. Nilai screenshot tentu berbeda dengan download, secara ukuran. Akan tetapi, secara nilai histori di dalam dunia visual, sama. 

Di dalam praktik pendokumentasian Ucup sendiri, satu pola di dalam tindak sebelum mengunggah suatu konten di sosial media adalah tindak penyuntingan diri yang dilakukannya sebelum mengunggah catatan tersebut. Rasanya, hal yang terpublikasi adalah hal yang sudah terpilih dan benar-benar penting untuk dibagikan. Jadi, meminjam dimensi dari mana foto itu berasal adalah strategi awal yang dilakukan.

Kutitip rindu / di sela malam / berharap esok kau ambil / di sudut langit (05)

Keputusan ukuran foto awal ini melahirkan turunan artistik lain berupa konsep buku saku, layar gawai, dan jendela. Terkhusus untuk konsep jendela, ini juga sebasis dengan konsep fotografi dari Ucup sendiri yang fokus memotret untuk melihat ‘ke luar’, sebelum ‘ke dalam’ sendiri pada nantinya. Adanya lipatan halaman tambahan membuat zine ini membutuhkan layer ketiga. Dan di bagian halaman akhir, muncul secara organik narasi untuk layer ke empat.

Di dalam penyuntingan zine ini, ada empat layer. Layer pertama adalah foto jurnal Ucup yang disunting secara kronologis seturut dengan story ig-nya sebagai data awal penyusunan. Layer kedua adalah catatan pendek harian yang ia buat bersama foto jurnalnya. Layer ketiga adalah ‘foto terusan’. Saya menyebutnya foto terusan karena foto-foto ini disunting melalui pertimbangan atas relasinya dengan foto dan teks sebagai materi awal di zine foto ini. Saya membayangkan peran foto terusan ini serupa dengan sebuah tetesan di permukaan genangan air yang hening. Sebuah pertemuan yang menimbulkan resonansi yang memediasi pernyataan personal yang ingin diselipkan oleh Ucup sendiri di dalam catatannya, seperti catatan pinggir. Layer keempat adalah epilog.

ada kecemasan di marahmu / ada nama aku di doamu / ada pengorbanan di langkahmu / ada aku yang hanya melawan (06)

Pada awal kerja penyuntingan, kerja kami berdasar pada hasil screenshots highlight ig story. Dari sana struktur dan tekstur zine foto ini bisa teraba. Penyusunan foto secara kronologis membuat sekuensing foto membentuk komunikasi di antara mereka sendiri. Struktur terbangun dengan sendirinya dan kejutan-kejutan nampak, berelasi dengan sendirinya. Hadir dengan sendirinya pola yang saling mendekati di antara mereka. Kedekatan ini perlu dimaknai bahwa ingatan visual punya rujukan erat dengan hal-hal yang sudah dikenainya terlebih dahulu sebelumnya. Oleh karena mata kita dan mata lensa punya peran yang berbeda. Mata kita tidak sepemilih mata lensa kamera. Namun, dari mata lensa kameralah kesadaran muncul, seringkali. Dari akumulasi kesadaran yang dihasilkan oleh mata lensa kamera tersebut menandakan ketidaksadaran kita terhadap berbagai citra dan narasi yang dikonsumsi sehari-hari oleh sosok yang ada di baliknya. Hal yang membuat sekumpulan foto yang acak tetap bisa ditemukan struktur di dalamnya, melalui penelusuran personal histori (visual) si pembuat foto. 


Saya suka memulai proyek zine foto dengan mendengar kisah personal. Saya kira apa yang dia kerjakan hari ini merupakan luapan atas sesuatu dari masa lalu. Hal yang selanjutnya saya lakukan adalah melihat bagaimana cara dia bernarasi visual. Setelah bahan-bahan tersebut hadir dan nampak, baru saya bisa melakukan pekerjaan saya; mengukur, menjahit, dan meminta bahan tambahan jika masih ada bagian yang berlubang.

Tak terasa, pada pertemuan pertama saya dengan Ucup, waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB. Waktunya untuk mengantarkannnya pulang ke tempat saudaranya karena ia harus naik kereta sore menuju Jakarta. Ia mengatakan kalau dalam waktu dekat ini akan ke Palu. Ini berarti hubungan kerja kami dalam menyelesaikan zine ini akan berlanjut di WhatsApp. Baiklah. Hati-hati di jalan dan selamat menjalankan pilihan hidupmu.

sudahlah berhenti meratapi / sesuatu yang takkan kembali / kebahagiaan tak pernah pergi / kau mungkin tengok arah yang salah / sebab aku dan bumi mengasihimu (07)


Setelah kami berjarak, beberapa hari setelah masa pengendapan, penyuntingan zine ini berlanjut dan bergantung dengan jaringan internet. Ucup mengirim segepok file foto dari jauh lewat sebuah tautan. Saya tak bisa menengoknya langsung karena butuh asupan wi-fi. Satu hari setelahnya baru saya tengok dan percakapan kami sambung di WhatsApp. Di dalam percakapan itu, ia menambahkan tiga foto yang ia kirimkan di Whatsapp, tiga foto dengan subjek yang sama, tetapi memiliki angle berbeda. Berperan sebagai foto terusan, ia meminta pertimbangan saya. Sebelum saya merespon, ia sudah memilihnya sendiri. Suka begitu memang. 

Besok paginya, ketika saya tengok foto itu kembali di ponsel, ada pembacaan lain mengenai foto ini. Saya menganggap foto itu berpotensi menjadi sampul depan. Saya kirim pesan singkat itu ke Ucup dan ia ternyata sefrekuensi dengan saya. Akhirnya, foto itu menjadi foto sampul depan sekaligus judul zine fotonya. Sebelumnya, ketika membuat draft, ada sebuah foto di mana salah satu elemen foto di dalamnya berpotensi menjadi sampul depan, berikut dengan judulnya. Sebuah teks arab yang sangat dekat dengan lafal “annas” dan “Innas”. 

An-Nas sendiri yang berarti manusia adalah hal yang ingin dicuplik dari spirit kemanusiaan di dalam zine foto ini. Potongan teks yang tertulis di puing tersebut juga bisa menjadi irisan religi yang hadir di balik pribadi Ucup sendiri. Namun, atas dasar kebiasan teks arab tersebut, foto dengan tembok bangunan tersisa yang tertulis curahan ekspresi dari warga setempat atas bencana yang mereka alami menjadi foto yang lebih representatif untuk zine foto yang ingin mengajak pembaca sedikit lebih memahami bencana dari cara pandang masyarakat setempat ini.

aku rindu kau yang dulu / dan obrolan kecil kita / kini bagai dua orang asing tidak saling tanya (08)

Di dalam proses penyuntingan zine foto ini, sejak awal, saya menyadari di mana Ucup memilih posisi. Keberpihakannya tercermin dari catatannya mengenai interaksinya dengan warga, alam, dan lingkungan (bambu) di dalam kehidupan sehari-hari. Keberpihakannya ini yang mengarahkan pada narasi visual yang hadir di layer ke empat, Epilog. Kata kunci visualnya dimulai pada bagian di mana ada foto (satu-satunya) yang terbentang ke dalam tiga halaman. Selain itu, Posisi Ucup sendiri juga tersampul di bagian belakang zine ini.....


Visual yang menavigasikan posisi ini tentu akan menjadi bias jika foto yang dipilih sebagai sampul belakang adalah foto di bawah ini.....


Mari sandingkan.....



Narasi visual ini merujuk pada hari-hari terakhir catatannya, di mana catatannya lebih bersifat eksistensial. Ada pergeseran yang dilakukan Ucup dalam memperlakukan fotografinya, dari melihat ‘ke luar’ menjadi ‘ke dalam’. Setiap orang memang punya jarak dan waktunya sendiri-sendiri bukan? Seberapa dekat/jauh, pendek/panjang, tidak ada yang bisa mengukur. Termasuk beberapa harinya Ucup di sana yang tentu berbeda dengan beberapa harinya saya. Mungkin satu harimu sama dengan satu minggunya seseorang kan? 

Di babak terakhir catatannya, ia mengutip beberapa kalimat seperti sajak yang dicupliknya dari “Chrono Cross”, sebuah video game favoritnya ketika ia masih di bangku Sekolah Dasar. Hikmah memang bisa datang dari mana saja bukan? Video game pun. Ucup bilang bahwa dari menyelesaikan berbagai chapter di game tersebut, ia banyak mendapat pelajaran tentang memaknai hidup dan juga mengambil banyak petuah tentang keselarasan hidup dengan waktu dan alam.

kita pernah coba hempas / kita pernah coba lawan / kita pernah coba melupakan rasa yang meradang / kau bilang perbedaan ini / bagaikan jurang pemisah / maka biarkan aku menyeberang dan coba berjuang (09)

Berbicara soal petuah yang secara sadar atau tidak sadar dihadirkan oleh Ucup sendiri di dalam catatannya, ada sebuah permasalahan ketika Ucup ingin menambahkan sebuah frasa untuk menutup zine fotonya. Sebagai penyunting, saya mereduksinya. Apakah ini berkaitan dengan perbedaan ideologi antara author dan editor? Bisa jadi. Dari gesekan tersebut hadirlah dialog. Di dalam sebuah surel yang saya sampaikan kepadanya, di mana saya lampirkan juga update draft terakhir zine fotonya, saya menjelaskan alasan tidak dimasukkannya sebuah frasa yang ingin ia hadirkan di bagian akhir zine ini, “Soal keinginanmu untuk memasukkan frasa 'Meski hunian runtuh, Iman kami tetap utuh', sebagai editor, aku merasa itu frasa yang lebih mendekati jargon, di mana secara ideologi dalam penyuntingan, aku menghindarinya. Aku mengupayakan karyamu, zine fotomu tetap berada sedikit di posisi netral”, tulis saya di sela-sela 473 kata di dalam surel yang saya kirimkan kepadanya. Frasa yang hendak ia sampaikan sebenarnya sudah terselip di sekuens foto dalam layer epilog. Jadi, tidak perlu ada kalimat penjelas lagi. 

Ucup sendiri sangat terbuka dengan karyanya dan banyak mengajak berdiskusi mengenai keputusan-keputusan penyuntingan yang dibuat. Membuat saya tersenyum sering-sering, apalagi melihat jarak kami yang lumayan (saat itu, dan kini,  ia sedang di Palu). Kebetulan juga, ketika di sesi akhir penyuntingan, lagu berjudul “Epilog” milik Fiersa Besari mengalun manis masyuk ke telinga kanan dan kiri saya......dan bagi saya, secara pribadi….lagu ini….memilih posisinya sendiri sebagai lagu tema untuk zine foto priambodoyusuf, “Hanya Ini yang Tersisa”.

beri dirimu sedikit waktu / tak usah pura-pura tertawa / ceritakanlah keluh kesahmu / telingaku tak jenuh mendengar / apa yang sedang engkau lamunkan / mengapa terus bersedu sedan / separah itu luka batinmu / tak bosan kau bawa masa lalu / 

hidup ini indah / bila kau mengikhlas yang harus di lepas / kau terlalu agung tuk dikalahkan rasa sakit/

sudahlah berhenti meratapi / sesuatu yang takkan kembali / kebahagiaan tak pernah pergi / kau mungkin tengok arah yang salah / sebab aku dan bumi mengasihimu /

belajarlah berjalan lagi / walau langkahmu rapuh / belajarlah percaya lagi / kau tak pernah sendiri (10)


engkau mentari yang menuntun aku melangkah / engkaulah hujan yang membasuh semua perih / engkau oksigen yang ada di setiap nafasku / tanpamu / aku hancur

Kembalilah / kembalilah / kembalilah / kembalilah (11)
*
*
*
*
*
Sebelum menutup kisah penyuntingan ini, melalui sebuah foto dari Ucup, mari kita beri sebuah karangan bunga untuk semua. Untuk mengucapkan semuanya. 


  pernahkah kau terjatuh secara sukarela
sebab kau yakin seseorang akan menangkapmu
seseorang akan mengajarimu cara tertawa,
cara percaya, cara mengeja rasa tak bernama
seketika itu pula jagat raya berhenti bergerak
jiwamu terbakar, ragamu lebur, 
dan dirimu hanya bisa menyerah
karena kau tahu, kau menyerah,
pada orang yang tepat (12)

* * * * * * * 
(01) Track 5, Rumah
(02) Track 7, Kawan yang Mengagumkan
(03) Track 9, Garis Terdepan
(04) Track 14, Epilog
(05) Track 2, Kau
(06) Track 8, Telapak Kaki
(07) Track 14, Epilog
(08) Track 10, Nadir 
(09) Track 11, Hingga Napas Ini Habis
(10) Track 14, Epilog
(11) Track 13, Lembayung
(12) Track 1, Konspirasi Alam Semesta

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * ** * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

HANYA INI YANG TERSISA
sebuah zine foto oleh priyambodoyusuf



68 halaman 
Bookpaper
9x16 cm
Digital print
35 foto (31 warna, 4 bw)
21 teks

Harga 65.000

Diterbitkan oleh SOKONG!


Jika ingin memesan zine foto ini, 
silahkan hubungi SOKONG! 
via DM di akun instagram @sokong_publish 
atau kirim pesan via WhatsApp ke nomor 081219169008


1 komentar: